Selasa, 14 Desember 2010

Telaah Pemikiran Ahmad Amin atas Hadis

Oleh: Abdul Qodir
A.     Pendahuluan
Pembahasan seputar Islam tak pernah terlepas dari sumber yang membentuk, mendefinisikan serta menetapkan hukumnya, yakni al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber tersebut saling terkait-kelindan, karena sekalipun al-Qur’an merupakan tuntunan komprehensif, tetaplah al-Qur’an dalam beberapa bagiannya cenderung global yang membutuhkan penjelas dan pembatas, dalam hal ini Hadis lah yang paling berperan. Lebih jauh lagi, peranan Hadis tidak hanya sebagai penjelas dan pembatas, juga sekaligus sebagai praktek nyata dari apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an, dan tidak jarang Hadis menjadi Legislator (Sya>ri’)[1] baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Namun, historisitas keduanya—hingga sampai kepada kita—sangatlah berbeda, Hadis tidak langsung terkodifikasi pada era awal Islam sebagaimana al-Qur’an. Setidaknya hal ini yang menjadikan Hadis cenderung lebih rumit untuk dikaji, karena masih memperbincangkan masalah otentisitas sebelum beranjak kepada pemahaman makna. Bahkan dalam beberapa kasus, otentisitas tersebut menyulut perdebatan panjang sehingga terlena dengan romantisme sejarah dan pada gilirannya melupakan substansi dari Hadis itu sendiri, yaitu untuk dipahami dan diaplikasikan.
Kajian seputar otentisitas Hadis tersebut terus berkembang, darinya muncul beberapa diskursus baru guna melengkapi koleksi khazanah kelimuan Islam terkait dengan metodologi uji otentisitas Hadis tersebut, semisal Ilm Rija>l al-H{adi>s}, ‘Ulu>m al-H{adis} (al-Dira>yah), ‘Ilm Ta>ri>kh al-Ruwah, Ilm Jarh} wa al-Ta’di>l, dan lain sebagainya. Perdebatan mengenai validitas tersebut terkadang menimbulkan sikap skeptis terhadap para pengkaji Hadis. Disinilah, peluang non-Muslim (Orientalis)[2] untuk menumbuh-kembangkan sikap skeptis kepada umat Islam terhadap sumber ajaran kedua (Hadis) makin terbuka lebar. Adalah Ignaz Goldziher yang terhitung gigih dalam melantangkan idenya, bahwa pemalsuan Hadis telah dimulai sejak Nabi masih hidup.[3] Dari pemikirannya itu banyak sekali keraguan-keraguan yang muncul, sehingga keabsahan Hadis yang selama ini telah mapan, tergoyangkan dengan analisinya yang dalam. Sedikit banyak pemikirannya telah mempengaruhi beberapa Orientalis setelahnya. Pengaruh itu pun tidak hanya menggema dalam kubu Orientalis itu sendiri, melainkan juga beberapa dari Pemikir Islam Modern turut mengamini hasil pemikirannya, baik itu secara terang-terangan dalam mengemukakan gagasannya, maupun yang terbungkus dalam cover yang berbeda. Salah satu dari Cendekiawan Muslim yang terpengaruh oleh pemikiran Ignaz tersebut—menurut beberapa pendapat—ialah Prof. Dr. Ahmad Amin.[4]
Berangkat dari hipotesa sederhana tersebut, dalam tulisan ini penulis mencoba menelaah lebih lanjut bagaimana sebenarnya pemikiran Ahmad Amin mengenai Hadis. Penulis memfokuskan kajian pada salah satu bukunya, Fajr al-Isla>m”, sebuah karya kritik sejarah yang ditulis olehnya yang banyak menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para intelektual Islam.
B.     Ahmad Amin: a Biography
Ø  Kelahiran dan Background Keluarga
Ahmad Amin—selanjutnya akan disebut “Amin—lahir di Kairo[5], bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1886 M / 2 Muharram 1304 H.[6] Amin terlahir dalam keluarga yang yang tergolong taat beragama (religius). Ayahandanya, Syekh Ibrahim al-Tabbakh, seorang petani sederhana yang pindah dari desa kelahirannya menuju Kairo. Di Kairo ia bekerja sebagai karyawan foto copy serta korektor di sebuah percetakan yang bernama "Bulaq". Di sela-sela kesibukannya tersebut, ia masih menyempatkan diri untuk memperdalam ilmu-ilmu agama, hukum, tata bahasa dan retorika.[7] Dari kegigihannya dalam mempelajari Hukum, membuatnya menjadi seorang Hakim, dengan harapan kelak anaknya (Amin) bisa meneruskan perjuangannya untuk menjadi hakim yang baik dan adil.[8]
Ø  Riwayat Pendidikan dan Karier Akademik
Amin kecil memulai pendidikannya di sebuah sekolah dasar di daerah Kuttabs, kemudian Amin melanjutkannya di Al-Azhar. Ia juga pernah belajar di sebuah sekolah Masjid pada tahun 1907, tepatnya di Madrasah al-Qada selama empat tahun.[9] Pada tahun 1918 Amin menerbitkan sebuah buku, ia menerjemahkan buku filsafat berbahasa Inggris ke dalam bahasa Arab. Nampaknya cita-cita ayahnya membuahkan hasil, Amin sangat tekun di bidang hukum. Pasca lulusnya dari Perguruan Tinggi Hukum Islam ia diangkat menjadi Hakim pada sebuah lembaga pengadilan Negeri, tepatnya pada tahun 1922. Dan pada tahun 1936 Amin ditunjuk sebagai staff pengajar pada Universitas Mesir (sekarang Universitas Kairo). Di Universitas inilah Amin menjabat sebagai guru besar di bidang sastra Arab selama kurang lebih 10 tahun (1936-1946). Karena kapabilitas serta pengalamannya sebagai Guru besar, pada tahun 1947 Amin ditunjuk sebagai Direktur seksi Kebudayaan pada Liga Arab.[10]
Sebagai seorang yang ahli dalam bidang Sejarah Kebudayaan dan sastra Arab, karya Amin yang paling penting (Masterpiece) ialah serangkaian kitab tentang sejarah peradaban Islam sejak awal kebangkitan hingga akhir abad ke-10. Karya-karya tersebut terbagi atas tiga bagian, Fajr al-Isla>m (1929), D{uh}a al-Isla>m (1933-1939),dan Z|uhr al-Isla>m (1945-1955). Ia merupakan orang Islam yang pertama kali menulis sejarah Arab menggunakan metodologi kesarjanaan Barat.[11]
Amin wafat pada usianya yang ke-68, 30 Mei 1954M/ 30 Ramadhan 1373 H.[12]

C.     Pemikiran Amin Seputar Hadis (Tema-tema Kontroversial)
“Fajr al-Isla>m”  merupakan salah satu kitab kajian sejarah yang ditulis oleh Prof. Dr. Ahmad Amin. Di dalamnya dibahas secara kritis tentang kesejarahan Islam dari awal munculnya Islam hingga akhir Daulah Umayyah. Dalam kitab tersebut terdapat satu fasal yang membahas secara khusus seputar Hadis Rasul, dari mulai munculnya, proses periwayatannya, dikodifikasikan, hingga beberapa mengenai otentisitasnya. Fasal tersebut mendapatkan porsi sekitar 20 halaman (255-274). Point ini berusaha memberikan satu gambaran tentang pandangan Amin mengenai Hadis yang tersaji dalam bukunya “Fajr al-Isla>m” .
v  Pandangan Amin mengenai Hadis-Sunah, serta Kedudukannya dalam Ajaran Islam
Amin tidak membedakan antara Hadis dan Sunah, ia menedifinisikan keduanya sebagai:
ماورد عن رسول الله صلى الله عليه و سلم من قـو ل أو فـعل أ و تقـريـر[13]
Segala sesuatu yang datang dari (disandarkan kepada) Rasul, baik berupa perkataan, perbuatan, serta ketetapannya.” (terjemahan penulis).
Menurut Amin, rantai periwayatan Hadis dilakukan secara turun temurun, setelah Rasul wafat, otoritas Hadis dipegang oleh sahabat. Dalam artian, sahabat memiliki peran penting dalam eksistensi sebuah Hadis. Karena merekalah yang bergaul dengan Nabi, sehingga memungkinkan mereka untuk senantiasa mendengar ucapan, dan juga melihat segala perbuatan Nabi. Mereka menceritakan kepada generasi selanjutnya (Tabi’in) tentang apa yang dilihat, dan mereka dengar dari Nabi. Sehingga setelah sampai pada generasi Tabi’in, segala yang bersumber dari sahabat mengenai Nabi disebut Hadis.[14] Sahabat berhak untuk mem-parafrase-kan perkataan Nabi (al-Riwa>yah bi al-Ma’na), dan meredaksikan dari apa yang dikerjakan Nabi (H{adi>s Fi’ly>).
Mengenai posisinya, ia tetap sependapat dengan Ulama’ Mayoritas (Jumhu>r), baginya Hadis tetaplah bagian terpenting dari Agama Islam, tepatnya menempati posisi kedua sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Karena tanpa Hadis, banyak sekali ayat al-Qur’an yang tidak bisa diterapkan karena masih bersifat umum dan tanpa batasan. Semisal perintah shalat, dalam al-Qur’an tidaklah terdapat mengenai Kayfiyyah-nya, dan hal tersebut dapat ditemukan dalam informasi Hadis. Bahkan dalam beberapa kasus, Rasul dihadapkan dalam beberapa permasalahan yang membutuhkan ijtihad pribadi beliau, karena ayat al-Qur’an tidak selalu turun ketika Nabi berhadapan langsung dengan permasalahan yang menyangkut pengambilan hukum. Atas dasar inilah, Amin berpendapat bahwa Hadis perlu mendapatkan perhatian serius ketika ingin memutuskan hukum Syar’i (Istinba>t} al-Ahka>m).[15]
v  Periwayatan, Pemalsuan dan Kodifikasi  Hadis: Kritik Sejarah (Historical Criticism)
Salah satu perbedaan antara al-Qur’an dan Hadis dari sisi kesejarahannya adalah proses kodifikasi keduanya. Hadis tidaklah ditulis pada masa Rasul masih hidup sebagaimana al-Qur’an. Bahkan terdapat Hadis yang secara eksplisit melarang penulisan Hadis,[16] Jumhu>r al-Ula>ma>’ meyakini hal tersebut merupakan sikap preventif Nabi karena ditakutkan bercampur-baurnya Hadis dengan al-Qur’an. Namun berbeda dengan Amin, ia berpendapat bahwa tidak adanya tulis-menulis Hadis di era awal Islam merupakan suatu kelemahan tersendiri, pasalnya, periwayatan Hadis hanya dilakukan dengan cara verbal, dan ingatan merupakan faktor kunci dari sebuah penjagaan. Amin berargumen, dari sulitnya untuk merekam semua yang dilakukan dan diucapkan Nabi selama 23 tahun di dalam ingatan, serta tidak adanya catatan resmi mengenai Hadis—yang kepadanya dapat dijadikan rujukan verifikasi terhadap informasi yang disandarkan kepada Nabi—, maka memungkinkan bagi sebagian orang untuk meriwayatkan Hadis dari jalan dusta.[17]
Lebih lanjut lagi, amin memperkuat argumennya, dengan Hadis:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berdusta tentangku (memberikan informasi yang salah dengan menyandarkannya kepada Nabi), maka silahkan mengambil tempat yang layak di Neraka”, (terjemahan Penulis).
Hadis tersebut—masih menurut Amin—mengindikasikan bahwasannya sejak zaman Nabi masih hidup sudah terjadi pemalsuan Hadis.[18] Setelah Nabi wafat, pemalsuan Hadis dianggap lebih mudah, dan untuk meneliti Hadis cenderung lebih sulit. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh ekspansi Islam di berbagai wilayah, sebagian dari mereka juga banyak yang belum mendalami Islam secara menyeluruh (belum kuat kyakinannya), sehingga informasi tentang Hadis sangat dengan mudah dipalsukan, bahkan diistilahkan seperti aliran sungai yang tidak dapat lagi dibendung (Sa>la al-Wa>di> H{atta T{amma> ‘ala al-Qariyy). Amin menyandarkan statemennya ini atas beberapa riwayat:
Diantaranya ialah perkataan dari Ibn ‘Abbas yang terdapat dalam S}ah}i>h} al-Muslim:
إنا كنا نحدث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ لم يكن يكذب عليه فلما ركب الناس الصعب والذلول تركنا الحديث عنه[19]
“Dahulu kami sering memperbincangkan tentang Rasul saw, sebab waktu itu belum ada pemalsuan terhadap beliau, tetapi setelah orang merasa ringan berbohong, kami tidak memperbincangkan beliau lagi”.
Satu riwayat lagi yang makin memperkuat pendapatnya:
Ibn Uda’ berkata: “Ketika Abdul Karim Ibn Abi al-Auja’—seorang pemalsu Hadis[20]—ditangkap untuk dibunuh ia berkata:
"لقد وضعت فيكم أربعة آلاف حديث أحرم وأحلل"[21]
“Saya telah memalsukan Hadis kepada kalian sebanyak 4000 Hadis, didalamnya saya mengharamkan dan menghalalkan (membuat hukum-hukum baru)”
Pemalsuan Hadis tersebut tidak hanya dilakukan dengan kesengajaan, tapi ada beberapa dari “Pemalsu Hadis” yang bertujuan baik, ia hanya meriwayatkan dari apa yang mereka dengar, tanpa disadari bahwa sebenarnya periwayatan tersebut merupakan hasil falsifikasi (pemalsuan) dari generasi sebelumnya. Dengan kata lain, beberapa dari perawi Hadis tidak melakukan filterisasi dari periwayatan yang mereka terima.[22] Bahkan ada kelompok yang menyatakan, bahwa ketika sebuah perkataan yang memiliki substansi kebaikan, dan tidak bersebrangan dengan ajaran Islam (seperti anjuran untuk melakukan kebaikan dan melarang kema’siatan), maka boleh disandarkan kepada Nabi Muhammad, sekalipun hal tersebut bukanlah Hadis Nabi.[23]
Dari beberapa keterangannya, Amin ingin memberikan informasi bahwa pemalsuan Hadis merupakan sebuah fakta sejarah, dan ini didukung dengan argumen-argumen yang menguatkan. Lebih jauh lagi, Amin mengidentifikasi beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang memalsukan Hadis:
1.      Pertentangan Politik
Konflik antara Abu Bakar dan Ali, Ali dengan Mu’awiyyah, antara Umawiy dan ‘Abbasy, dan beberapa konflik lain dalam internal kaum muslim diduga kuat menjadi pemicu munculnya Hadis-hadis palsu. Pemalsuan tersebut termotivasi untuk saling menyerang golongan lain (musuh politik), ataupun untuk membela golongannya (resintensi). seperti halnya konflik Ali-Mu’awiyyah, kedua golongan tersebut saling membuat hadis-hadis palsu guna mendukung dan menyerang satu sama lain.[24]
2.      Perselisihan di Bidang Ilmu Kalam dan Fiqh
Amin menduga, perselisihan pendapat dalam hal perincian Ilmu Kalam yang tidak pernah dijelaskan oleh Rasul, menjadi pemicu sebagian golongan untuk memalsukan Hadis guna membangun argumentasi tentang apa yang mereka yakini dan pahami. Semisal perselisihan antara Qadariyyah dan Jabariyyah yang memperdebatkan masalah Qadha dan Qadar, mereka saling menyerang golongan lain yang tidak sepaham dengan menggunakan Hadis palsu sebagai alat legitiamasi. Begitu pula yang terjadi di kalangan Fuqaha dalam menghadapi beberapa perselisihan mengenai hukum Islam.[25]


3.      Ketundukan Para Ulama terhadap Penguasa
Amin berpandangan bahwa terdapat beberapa Ulama yang melakukan pemalsuan Hadis guna membuat suatu hukum yang sesuai dengan kegemaran serta kecocokan para penguasa. Dicontohkan sebuah riwayat yang menceriterakan Ghayyats ibn Ibrahim, suatu ketika ia masuk kepada al-Mahdi ibn al-Mansur dan didapati dia sedang mengadu burung dara, melihat hal tersebut kemudian Ghayyats meriwayatkan sebuah Hadis: “Tidak boleh mengadu hewan yang berceracak dan bersayap”. Mendengar Hadis tersebut, al-Mahdi memberikan hadiah kepada Ghayyats sebanyak 10.000 dirham. Tapi kemudian, sebelum Ghayyats pergi, al-Mahdi berkata dan bersaksi: “Saya bersaksi bahwa kamu telah berdusta atas nama Rasul, sesungguhnya Rasul tidak pernah menyabdakan dengan kata-kata “Jana>h}” (sayap), kamu hanya ingin mendapatkan hadiah dari kami.[26]
4.      Kebolehan Mengarang Suatu Hadis Oleh Beberapa Ulama
Amin mengetengahkan statemen bahwa ada beberapa golongan yang memang sengaja memalsukan Hadis tentang keutamaan-keutamaan amal, fadilah membaca surat-surat, anjuran menginggalkan perkara ma’siat, dan lain sebagainya. Sebagian dari mereka—pemalsu Hadis—memiliki i’tikad baik, guna mengajak orang lain untuk senantiasa menjalankan ibadah dan menjauhi kemaksiatan. Tapi pemalsuan Hadis dengan alasan apa pun tetaplah tidak bisa dibenarkan.
5.      Kegandrungan Beberapa Golongan Terhadap Hadis
Kecendrungan (fanatisme) beberapa orang terhadap sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadis), menimbulkan adanya upaya untuk memalsukan Hadis. Karena mereka tidak mau menerima Ilmu pengetahuan selain dari keduanya, termasuk ijtihad para Ulama’. Mereka menganggap pengetahuan yang bernilai hanyalah al-Qur’an dan Hadis.[27]
Mengenai sejarah Kodifikasi Hadis sendiri, Amin pun sempat menyinggungnya. Dalam catatan Amin, hingga Abad kesatu Hijriyyah berlalu, belum ada satu pun dari keempat khalifah yang berupaya untuk menuliskan Hadis.[28] Hadis pada abad pertama Hijriyyah ditransformasikan melalui Lisan yang bersumber dari hafalan mereka masing-masing. Kemudian pada abad kedua, mulailah beberapa golongan yang mulai intens mengumpulkan—terbatas yang mereka kenal dan mereka anggap benar— Hadis. Mengenai hal ini, Amin mengutip pendapatnya Ibn Hajar:
“Orang yang pertama kali mengumpulkan Hadis ialah al-Ra>bi ibn S}a>bih (w. 160H), dan Sa’i>d ibn Abi> ‘Urwah (w. 156H) sampai kepada Ulama Generasi ketiga, Ima>m Ma>lik mengarang Kitabnya al-Muwat}t}a>’, ‘Abd al-Ma>lik ibn Juraih} di Makkah, al-Auza’i> di Syam, Sufya>n al-S|aury di Kufah, Hamad ibn Salamah ibn Di>na>r di Basrah, usaha kodifikasi ini disusul oleh beberapa Ulama setelahnya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas intelektual masing-masing”[29]

v  Ada>lah al-S{ah}a>bah
Keadilan bagi seorang perawi merupakan salah satu syarat kesahihan sebuah sanad Hadis.[30] Karena Hadis pada era awal diriwayatkan secara verbal, sehingga memungkinkan pembawa berita tersebut melakukan pemalsuan ataupun secara tidak sengaja—karena keterbatasan daya ingat yang dimilikinya—meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda, bahkan bisa menyalahi substansi dari Hadis yang ia terima. Sanad Hadis merupakan hasil standarisasi (perangkat metodologis) para Ulama untuk menguji validitas sebuah hadis karena kekhawatiran akan keikut-sertaan para zindiq dalam rantai periwayatan sebuah informasi yang amat berharga bagi Ajaran Agama Islam, al-Hadis.
Berbicara mengenai jalur periwayatan, maka sahabatlah yang memegang peran kunci, karena merekalah generasi pertama yang menerima dan meriwayatkan Hadis, generasi yang bertemu, bergaul, dan berinteraksi langsung dengan Nabi. Ada dan tidaknya suatu Hadis (yang sampai kepada kita), tergantung kepada mereka. Ketika tidak ada satupun Hadis yang diriwayatkan oleh mereka, maka mustahil generasi selanjutnya bisa belajar dan memahami Hadis-hadis Rasul. Sekalipun terdapat banyak sekali cacat sejarah (beberpa konflik internal di kubu Umat Islam), tetaplah mereka mempunyai jasa besar dalam eksistensi Agama Islam, lengkap beserta sumber-sumber ajarannya untuk generasi setelah mereka. Berkumpulnya para Sahabat dengan Nabi secara langsung meniscayakan adanya keimanan yang begitu kuat, karena mereka dapat hidup bersama dengan sang pembawa risalah, mereka menjadi objek pertama turunnya al-Qur’an. Agaknya pandangan tersebut, serta beberapa argumen “Theologis” lain digunakan oleh Jumhur Ulama’ untuk membuat sebuh Tesis “Al-S{ah}a>bah Kulluhum ‘Udu>l”. Tidak tanggung-tanggung, dalil untuk meneguhkan Tesis tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Sehingga mengimaninya menjadi sebuah kewajiban bagi setiap umat Islam. Ketika Tesis tersebut diterapkan, maka uji otentisitas Hadis—yang didasarkan pada penilaian terhadap para perawi—tidak perlu lagi meneliti generasi pertama (sahabat).[31]
Amin memandangnya berbeda, dan disinilah letak perbedaan mendasar antara pendapat Amin dengan Ulama mayoritas. Amin mengkritisi statemen tersebut. Sahabat tetaplah manusia, sehingga masih memungkinkan untuk berbuat kesalahan. Hal ini didasarkan kepada adanya saling menilai antara sahabat satu dengan sahabat lain, terlebih dalam masalah periwayatan. Terkadang seorang sahabat menolak hadis yang datang dari sahabat lain yang tidak dipercayainya, ataupun menerima dengan catatan memberikan kesaksian atas Hadis yang diriwayatkannya. Amin mencontohkan, penolakan Ibn ‘Abbas terhadap Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang keharusan berwdhu’ bagi orang setelah membawa jenazah. Juga penolakan ‘Aisyah terhadap Hadis yang dibawa oleh Abu Hurairah mengenai pembasuhan tangan setelah bangun dari tidur. Dari sekian banyaknya contoh yang dipaparkan oleh Amin, sebenarnya ia mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa sahabat tetaplah manusia yang masih memungkinkan melakukan sebuah kesalahan, sehingga penelitian terhadap sosoknya merupakan sebuah keniscayaan.[32]
Amin juga menyertakan kutipan dari ungkapan al-Ghazali:
“Demi Dzat yang menguasai umat terdahulu serta umat yang akan datang, bahwa keadilan para sahabat sudah diketahui dengan bukti bahwa Allah menganggap mereka itu adil dan memuji mereka dalam al-Qur’an, ini adalah kepercayaan kami terhadap mereka. Kecuali ada riwayat pasti yang menceritakan mengenai kefasikannya dengan sengaja, namun hal tersebut tidak pernah didapati. Dan sebagian para kritikus menganggap bahwa mereka sama seperti yang lain, mereka tetap harus diteliti. Kritikus tersebut berkata: “Semula mereka memang dapat dipercaya seluruhnya, hingga pada akhirnya terjadi perselisihan dan peperangan diantara mereka, keadaan pun berubah, darah pun telah terlanjur mengalir, maka (keadilan mereka) menjadi perlu untuk dibahas”[33]
Berlanjut mengenai keadilan sahabat, Abu Hurairah mendapat porsi pembahasan cukup besar dalam kajian Amin mengenai hal ini. Sekalipun tidak secara eksplisit mengkritik Abu Hurairah, nampak dari argumen-argumen yang dibangun mengarahkan kepada sikap keragu-raguan Amin terhadap kapabilitasnya (Abu Hurairah). Keraguan-raguan tersebut dibangun mulanya dengan menyebutkan data jumlah Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat. Abu Hurairah menempati posisi tertinggi dalam jumlah periwayatan Hadis. Ia meriwayatkan 5374 Hadis, Aisyah 2210, dan disusul oleh sahabat-sahabat lain. Banyaknya jumlah Hadis yang diterima dan diriwayatkan tentunya berjalan simetris dengan lamanya (tenggang waktu) mereka bergaul dengan Nabi. Kemudian jumlah yang begitu banyak tersebut dikontradiksikan oleh Amin dengan lamanya Abu Hurairah berkumpul dengan Nabi. Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ketujuh Hijriyyah.[34] Abu Hurairah berkumpul—dan kemungkinan lamanya waktu menerima Hadis dari Rasul—selama kurang lebih tiga tahun. Fakta ini sangat bertolak belakang dengan banyaknya Hadis yang diriwayatkan.
Amin menambahkan penjelasannya mengenai Abu Hurairah, Abu Hurairah merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis, namun ia bukanlah seorang yang pandai baca-tulis, ia hanya menyandarkan Hadis-hadis tersebut dalam ingatannya. Disebutkan pula Abu Hurairah tidak hanya meriwayatkan hadis-hadis yang ia terima langsung dari Nabi, melainkan sering pula ia meriwayatkan Hadis yang diterimanya dari sahabat lain (dengan menyandarkannya langsung kepada Nabi). Amin mencantumkan suatu Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
من أصبح جنباً فلا صوم له
“Barang siapa di pagi harinya masih berjunub, maka tidak sah puasa orang tersebut.”
Hadis ini kemudian dibantah oleh Aisyah:
كان رسول الله يدركه الفجرفى رمضان وهوجنب من غيراحتلام فيغتسل ويصوم
“Pernah suatu ketika Rasul berjunub di pagi Hari (Shubuh) pada bulan Ramadhan tidak karena bermimpi, kemudian Rasul mandi dan melanjutkan puasanya.”
Dari bantahan Aisyah tersebut, kemudian diajukanlah kepada Abu Hurairah, dan Abu Hurairah menanggapinya: “Aisyah lebih mengerti daripada saya, dan Hadis tersebut tidak saya dengar langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fad}a>l Ibn ‘Abba>s.” Amin pun menambahkan bahwa Abu Hurairah sering mendapatkan kritik dari sahabat-sahabat lain dikarenakan banyaknya meriwayatkan Hadis sedang mereka meragukannya.[35]
Singkatnya, keadilan sahabat menurut Amin bukanlah suatu yang menyeluruh, tidak semua sahabat itu jujur dan dapat dipercaya, karena betapa pun hebatnya mereka, masih memungkinkan memiliki cela. Amin pun mengambil contoh Abu Hurairah sebagai bahan pertimbangan. Sehingga anggapan “Al-S{ah}a>bah Kulluhum ‘Udu>l”  perlu dikaji ulang, dan sahabat tetaplah perlu untuk diteliti lebih lanjut mengenai keadilan mereka.
D.   Tanggapan Ulama Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Atas Hadis
Amin tergolong sukses merombak wacana studi kritis sejarah Hadis. Dengan buku sejarahnya “Fajr al-Isla>m”, Amin menggoyahkan konstruksi baku pemahaman akan otentisitas Hadis. Tanggapan Ulama pun sangat beragam, dari yang setuju, atau sekedar mengapresiasi nalar kritisnya, bahkan ada yang menentang secara terang-terangan. Dr. Musthafa Al-Siba’i termasuk salah satu cendekiawan muslim yang secara tegas menentang gagasan dan karya Amin. Dalam bukunya “al-Sunnah wa Maka>natuha> fi al-Tasyri>’ al-Isla>mi” secara khusus membahas tentang sanggahan-sanggahan atas pemikiran-pemikiran baru yang tidak sejalan dengan pendapat mayoritas. Lebih spesifik lagi Ahmad Amin, gagasan Ahmad Amin mengenai Hadis yang tertuang dalam kitab “Fajr al-Isla>m”  dibantah satu-persatu secara rinci terdapat dalam fasal “Al-Sunnah ma’a Ba’d{ al-Ka>tibi>n Hadi>s|an” “Sunah dalam perspektif Penulis modern”. Sanggahan terhadap gagasan Amin mendapatkan porsi sekitar 88 halaman (264-352). Namun disini penulis tidak menghadirkan keseluruhan kritik dari al-Siba’i terhadap Amin, penulis hanya akan memaparkan sebagian dari sanggahan-sanggahan tersebut, dan tertentu kepada point keadilan sahabat.
Menurut Al-Siba’i, seluruh sahabat pastilah terbebas dari tindakan pemalsuan dan kebohongan, kecuali sahabat yang masuk ke dalam golongan Khawarij, Mu’tazilah dan Syi’ah. Ia menambahkan dengan mengutip perkataan Ibn Katsir:
“Para sahabat itu bagi Ahli Sunah wa al-Jama’ah adalah semuanya jujur. Adapun pendapat kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa sahabat semuanya jujur kecuali yang memerangi Ali adalah pendapat yang harus ditolak. Kelompok Syi’ah (rafdah), dengan kebodohan dan akalnya yang sempit mengatakan bahwa semua sahabat itu kafir kecuali tujuh belas orang adalah statemen yang tak berdasar.”[36]
Ia juga mengkritik pencantuman pendapat al-Ghazali dalam pembahasan keadilan sahabat. Hal ini dikarenakan yang dikategorikan sahabat dalam statemen saling berperang itu ialah sahabat yang dalam sejarah Islam memiliki kecendrungan fanatisme terhadap suatu kelompok tertentu. Demikianlah seterusnya al-Siba’i mengkritik seluruh pemikiran Ahmad Amin, terkadang ia menggunakan argumentasi rasional, namun dalam bagian lain hanya mengedepankan ke-Sunni-annya.
E.   Catatan Penulis
Telah diuraikan mengenai sekelumit pemkiran Ahmad Amin tentang Hadis yang terdapat dalam Kitab“Fajr al-Isla>m”. Dari pembacaan penulis, setidaknya penulis memiliki beberapa catatan pribadi. Penulis berpendapat, perbedaan mendasar Ahmad Amin dengan ulama mayoritas mengenai Hadis ialah dasar pemikirannya. Bagi penulis, awal skeptisme yang dibangun Amin dilatar-belakangi oleh ketidak-percayaan Amin terhadap kekuatan hafalan pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dari cara Amin memandang tidak adanya kodifikasi Hadis pada masa Rasul hidup merupakan alasan tersendiri untuk meragukan hadis yang terekam dalam ingatan dan diriwayatkan secara verbal. Amin menyamakan persepsi kekuatan hafalan pada masa itu dengan masa sekarang, yang budayanya sangat berbeda. Pada masa sekarang budaya tulis-menulis begitu maju, sehingga hal ini menyampingkan hafalan, kebutuhan seseorang terhadap catatan pada masa sekarang begitu sentral, sehingga ilmu pengetahuan hanya bisa didapatkan melalui bacaan. Namun di jaman Rasul, sebagian besar masyarakat Arab adalah masyarakat Ummi (tidak bisa baca-tulis), sehingga budaya hafalan lebih ditonjolkan, kebutuhan akan sebuah tulisan tidaklah begitu berpengaruh. Sehingga tanpa adanya tulisan pun, Hadis masih memungkinkan untuk terus eksis dan diriwayatkan dari mulut ke mulut.
Adapun sahabat dalam masalah keadilan, tentulah mereka memiliki posisi yang berbeda dalam sebuah periwayatan. Kedekatan hubungan dengan Rasul, serta mengetahui konteks bagaimana hadis tersebut disabdakan (pelaku sejarah), hal tersebut meniscayakan adanya sebuah pemahaman utuh terhadap maksud dari Hadis Nabi. Kedekatan dengan Nabi itu—meskipun secara teologis—menumbuh-kembangkan keimanan yang lebih terhadap Nabi dan seluruh Ajaran Islam. Sehingga upaya pemalsuan pun hampir tidak mungkin dilakukan oleh para sahabat.
Hadis yang berbicara tentang “Man Kadzaba....” yang diklaim Amin sebagai legitimasi terhadap adanya pemalsuan Hadis tidaklah selamanya tepat. Karena munculnya hukum—dalam hal ini hukum haramnya memalsukan Hadis—tidak harus didahului oleh sebuah sebab pelanggaran yang dilakukan. Kapasitas Nabi sebagai pembawa Risalah, memiliki sebuah tugas menyampaikan seluruh Ajaran Islam, tidak terkecuali hukum-hukumnya. Maka ketika logika “munculnya pelarangan pasti didasari karena adanya pelanggaran” diterapkan dalam permasalahan hukum Islam, hal ini memberikan kesimpulan bahwa Islam bukanlah agama yang universal. Pemahaman lanjutnya, Islam menunggu adanya sebuah pelanggaran untuk menyatakan suatu perkara tersebut “Haram”. Pelarangan Zina tidak didahului karena banyaknya perilaku perzinaan, munculnya larangan bersikap kasar terhadap orang tua tidak dikarenakan banyak sahabat yang durhaka. Begitu pula dengan larangan pembuatan Hadis palsu, tidak dikarenakan maraknya pemalsuan Hadis, hal tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam, yang diperuntukkan tidak hanya untuk Umat Islam pada masa abad kesatu Hijriyyah, tapi untuk selamanya.
F.    Simpulan dan Penutup
Betapapun kritikan yang ditujukan kepada Ahmad Amin, tetaplah ia seorang intelektual-muslim yang memiliki kepiawaian dalam bidang keilmuan yang tetap harus kita apresiasi usahanya dalam berijtihad. Dari uraian sederhana di atas, dapat kita simpulkan beberapa poin atas pemikiran Ahmad Amin:
·      Hadis dan Sunah Memiliki arti yang sama, segala yang bersumber dari Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan.
·      Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam.
·      Pemalsuan Hadis telah ada sejak Rasul masih hidup.
·      Tidak adanya kodifikasi Hadis pada era awal merupakan salah satupenyebab  munculnya keragu-raguan dari apa yang diriwayatkan dari ingatan para sahabat dan tabi’in.
·      Beberapa faktor yang diduga kuat sebagai pemicu munculnya Hadis palsu:
a.    Pertentangan Politik
b.    Perselisihan Ulama dalam bidang Ilmu Kalam dan Fiqh
c.    Ketundukan Para Ulama terhadap penguasa
d.    Kebolehan mengarang Hadis palsu oleh beberapa Ulama
e.    Kegandrungan terhadap al-Qur’an dan Hadis, yang menafikan sumber pengetahuan lain, seperti ijtihad, Qiyas, dsb.
·      Tidak semua sahabat Adil, mereka tetap perlu untuk diteliti lebih lanjut mengenai personalitinya.
Semoga dengan sumbangsih catatan singkat ini, dapat bermanfa’at bagi yang membacanya. Penulis mohon maaf apabila dalam penyajian data kurang lengkap, analisis yang kurang dalam, atau pun mungkin terkait dengan kesalahan pemahaman penulis terhadap pemikiran Ahmad Amin.


[1] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah: Referensi Tertinggi Umat Islam,terj. Bahruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 93.
[2] Mengenai Orientalis, Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin berpendapat bahwa secara garis besar, sikap Orientalis terhadap kajian Islam dapat dibagi menjadi dua, pertama, Orientalis Objektivis, yakni orientalis yang mengkaji Islam murni dengan tujuan akademis dan perkembangan khazanah keilmuan, bagi yang pertama ini, kesimpulan yang dihasilkan tidak memojokkan Islam secara sepihak, dalam arti kata, tetap dalam batasan-batasan Ilmiah. Kedua, Orientalis Misionaris, Orientalis yang mengkaji Islam dengan tujuan menyerang Islam dari sisi ilmu pengetahuan. Untuk pihak kedua, kesimpulan yang dihasilkan cenderung tidak objektiv, dan terkesan “Ngawur”. Perkuliahan dengan Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, mata Kuliah “Kajian Orientalis atas al-Qur’an”, pada hari Kamis, 14-Oktober-2010, ruangan 4K18 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Husain Yusuf, “Abu Hurairah Dan Peranannya Dalam Periwayatan Hadis” dalam Yunahar Ilyas dan M.Mas’udi (ed.), Kajian Al-Quran Dan Hadis (cet. I; Yogyakarta Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994) hlm. 15.
[4] G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), Terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan, 1999),  hlm.48.
[5] Gold Schmitdt, Jr.Arthur, Historical Dictionary of Egypt, (London: Metuchen, 1994) h.36
[6] Harun Nasution, Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I (Jakarta : Djambatan, 2002), hlm.77.
[7] Stephant and Nandy Ronand, Concise Ensyclopaedia of Arabic Civilization (Amsterdam : Djambatan, 1959), hlm. 27.
[8] M.T.T Abdul Muin, Kata Pengantar dalam Terjemahan  Fajrul Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 3.
[9] William Shepard, Ahmad Amin dalam Reeva S. Simon et. All, Encyclopaedia of The Modern Middle East (New York : Mac Millan, t.th),  h. 138
[10] Harun Nasution, Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I.., hlm.77.
[11] William Shepard, Ahmad Amin dalam Reeva S. Simon et. All, Encyclopaedia of The Modern ..,hlm. 138.
[12] Harun Nasution, Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I..., hlm.77.
[13] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m, (Cet. X, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyy, 1969), hlm. 208.
[14] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 208.
[15] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 208.
[16] Hadis S{ah}i>h} al-Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الأَزْدِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ, HR. Muslim, Hadis Nomer 7702, Juz XIX, hlm. 104, dalam CD ROM Al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[17] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 209-211.
[18] Berbeda dengan pandangan Ajaj al-Khatib, menurutnya pemalsuan Hadis mulai muncul sejak perpecahan umat Islam yang dilatarbelakangi oleh konflik khalifah ‘Ali dengan Gubernur Syam (Mu’awiyyah), lihat: Muhammad Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H{adis|: ‘Ulu>muhu wa Mus{t}alah}uhu, (t.t: Da>r al-Fikr, 1989), hlm. 413.
[19] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 211, dan penulis temukan dalam: S{ah}i>h} al-Muslim Juz I, hlm. 12, dalam CD ROM Al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[20] Ia adalah saudara dari Ibn Mu’an ibn Zaidah, semua hadis yang dipalsukan adalah Hadis yang menyesatkan, yang meruntuhkan konstruksi hukum baku Syara’. Lihat: Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 211.
[21] Penulis tidak dapat menemukan periwayatan tersebut dalam buku aslinya, karena keterbatasan sumber pada penulis. Keterangan yang teradapat dalam Kitab Fajr al-Isla>m, riwayat ini diambil dari Syarh} al-Muslim al-S<ubu>t.
[22] Disebutkan diantaranya yang meriwayatkan Hadis tanpa melakukan filterisasi ialah Abdullah Ibn al-Mubarak.
[23] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 212.
[24] Dalam bukunya Fajr al-Isla>m, Amin banyak memberikan contoh mengenai hal ini, diantaranya Hadis yang dipalsukan ketika konflik Mu’awiyyah dan Ali. Golongan Mu’awiyyah membuat Hadis bahwa Rasul pernah bersabda: “Wahai Allah, selamatkanlah ia (Mu’awiyyah) dari siksa neraka dan perhitungan di hari kiamat, dan ajarilah  ia (‘Allamahu) tentang al-Qur’an.”, lihat selengkapnya: Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 212-214.
[25] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 214.
[26] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 214.
[27] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 214-215.
[28] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 221.
[29] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 222.
[30] Lebih tepatnya, adalah (sifat Adil) merupakan sarat seorang perawi dalam meriwayatkan (Ada’), dan adil ini memiliki definisi: sifat yang tertancap dalam jiwa, yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan menjaga diri. Lihat: Muhammad Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H{adis|: ‘Ulu>muhu..., hlm. 231.
[31] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H{adis|: ‘Ulu>muhu..., hlm. 292-400.
[32] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 216-217.
[33] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 216.
[34] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 218-219.
[35] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m..., hlm. 218-220.
[36] Mus}t}afa> al-Siba>’i>, al-Sunnah wa Makana>tuha> fi al-Tasyri>’ al-Isla>mi>, (t.t: D\a>r al-Warra>q, 2000), hlm. 291.